Berguru Kepada Allah karya Abu Sangkan
MENCARI ILHAM DEMI MENCAPAI IMAN
Meskipun penuh kontroversi karena banyak ulama yang mencap hasil pemikiran Abu Sangkan ini sebagai bid’ah, namun buku ”Berguru Kepada Allah” yang pertama kali dicetak pada tahun 2002 ’lulus’ penilaian publik sehingga dicetak sampai sebelas kali hingga 2009 ini. Buku laris pasti memiliki suatu ’tawaran’ yang menarik. Hukum itu berlaku juga pada karya Abu Sangkan ini. Tagline ’Menghidupkan Kecerdasan Emosional dan Spiritual’ yang terdapat di cover buku mungkin memberi gambaran mengenai apa yang ingin dibagi pada pembaca. Namun menurut saya pribadi, apa yang ingin disampaikan Abu Sangkan terutama adalah pencarian manusia terhadap kebenaran yang ada pada dirinya, yaitu pengakuan akan ke-Esaan Allah. Tauhid dari lubuk jiwa.
Latar belakang Abu Sangkan berpengaruh besar dalam pencapaian dan pemahamannya akan Islam. Bisa dikatakan bahwa ia berupaya mencari ilham sepanjang hidupnya demi mencapai Iman. Abu Sangkan pernah menggeluti ilmu agama di beberapa pesantren seperti Al Ihya’ di Bogor, Al Ghazaly di Bogor, Al Baqiyyatush Shalihat Bekasi serta mengikuti pendidikan ilmu Filsafat di IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Apa yang ia cari justru berasal dari perenungan-perenungannya selama menggeluti dunia bisnis dan pengembaraan spiritualnya dalam kontemplasi malam yang ia lakukan. Mengenai pencapaian tersebut, saya tidak berani memberi komentar, biarlah Allah yang menilai upaya manusia-Nya dalam upaya mendapatkan Ridha-Nya.
Konsep menarik yang dikemukakan Abu Sangkan di sini adalah adanya bagian jiwa manusia yang pada dasarnya mengakui adanya Allah, mengajak kepada kebaikan, dan menegur perbuatan dosa yang dilakukan insan. Dalam QS. Al Qiyamah, 75 ayat 14, ia disebut sebagai bashirah, diri sejati yang tidak tidur dan tidak lalai, mengendalikan nafas dan prosedur badani manusia yang lain. Ia berbisik halus kepada manusia untuk mengingatkan agar menghindari dosa dan mengajak pada kebaikan. Konsep ini didukung oleh berbagai penelitian psikologi dan penelitian terhadap kinerja otak manusia (temuan ”God Spot” oleh Danah Zohar dan Ian Marshall yang notabene adalah ilmuwan barat). Namun terkadang manusia mengabaikan ’bisikan halus’ tersebut dan terus berbuat maksiat di muka bumi. Untuk mengembalikan manusia pada kehidupan yang penuh kebaikan, mendapatkan ketentraman, dan mengabaikan emosi untuk mendapatkan esensi pemikiran yang lurus, Abu Sangkan berpendapat bahwa kita harus bisa terus mendengarkan ’bisikan halus’ dari bashirah yang mengajak pada kebaikan tersebut. Untuk itu, hendaknya manusia menjalani kehidupan dengan sikap ”Takwa” (menjalankan perintah Allah dan menjauhi larangan-Nya) disertai sikap ”Ihsan” (seakan-akan melihat Allah, jika tidak mampu melihat-Nya sesungguhnya ia melihat kalian). Namun untuk mencapai tataran tersebut, memang terasa sangat berat karena sebagaimana yang diungkapkan oleh Allah dalam beberapa Surah Al Qur’an, iman dan kesadaran manusia itu diberikan oleh Allah sendiri pada hati manusia yang Ia kehendaki. Lalu bagaimana untuk mendapatkan ilham keimanan tersebut? Kuncinya adalah pasrah. Abu Sangkan berpendapat bahwa yang dimaksud pasrah bukanlah bersikap pasif dan menerima semua yang terjadi atas dirinya sebagaimana yang dibayangkan oleh banyak orang selama ini. Namun konsep pasrah adalah melakukan segala upaya yang mungkin dilakukan di dunia sesuai dengan perintah Allah untuk mencapai tujuan yang diinginkan dan menyerahkan hasilnya pada Yang Maha Kuasa. Jadi bukannya pasrah dengan tidak melakukan apa-apa dan hanya terus beribadah, bahkan dengan menjalankan laku mengharamkan kemodernan dengan harapan ingin mengembalikan kehidupan seperti zaman Nabi Muhammad SAW, namun memanfaatkan kemodernan untuk menjalankan Islam sesuai dengan Fitrah-nya.
Untuk mendukung upaya mencapai sikap pasrah ini, Abu Sangkan menawarkan suatu metode zikir (inilah yang sering dianggap bid’ah oleh para ulama). Karena sesuai dengan konsep zikir, yaitu ’ingat’, zikir akan membangkitkan kesadaran diri bahwa kita selalu diawasi oleh Allah. Zikir akan memperkuat dan memunculkan bashirah yang selama ini kita abaikan.
Kalau metode ini dianggap mengada-ada, mungkin perlu dibaca testimoni-testimoni dari masyarakat yang sudah membaca dan mencoba mengamalkan isi buku ini. Saran saya, apabila anda memandang hal tersebut positif, mungkin dapat dicoba dan dimanfaatkan untuk keluar dari ’kemacetan’ hidup di dunia modern ini. Berguru Kepada Allah, bagi Abu Sangkan bukanlah dimaksudkan sebagai suatu kepongahan, akan tetapi kerendahan hati manusia untuk kembali pada Fitrahnya dan ingin mencintai Sang Pencipta dengan penuh keikhlasan.